Rabu, 20 Oktober 2010

takhrij Hadits Tentang Muzara'ah


BAB I
PENDAHULUAN

Hadits Tentang Perintah Akad Muzara’ah
            Dalam penelitian ini,  pada awalnya kami ingin meneliti terhadap hadits dalam sebuah buku fiqh muamalah[1] tentang anjuran melakukan akad muzara’ah. Penulisnya menuliskan sebagai berikut:
“Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas RA.
ان  النبي صلى الله صلى الله عليه وسلم لم يحرم المزارعة ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض بقوله من كانت له ارض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان ابى فليمسك ارضه ) رواه البخاري)"
            Namun, setelah kami mencari hadits tersebut melalui petunjuk kitab pencarian hadits “Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz al-hadits an-Nabawi”, ternyata tidak ada teks hadits yang benar-benar sesuai dengan hadits diatas dalam shohih bukhari dan shohih muslim. Keterangan dalam kitab al-Mu’jam serta pencarian penulis menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
  1. Matan Hadits dari Ibnu Abbas yang tertuliskan dengan teks “Inna an-Nabi Saw Lam Yuharrim al-Muzara’ah wa laakin amara an yurfaqa baa’duhum bi ba’dl”, hanya terdapat dalam dalam satu kitab, yaitu Sunan at-Turmudzi/bab hirts wa al-muzara’ah/42. [2]
  2. Dalam Shahih Muslim sendiri, hadits yang kami teliti ini juga disebutkan dalam dua hadits yang berbeda sanad dan matan. Pertama,
ان  النبي صلى الله صلى الله عليه وسلم لم ينه عنه. ولكن قال ان يمنح احدكم اخاه خير له من ان ياءخذ شيأ معلوما

Perlu diketahui, tidak ada matan hadits dari Ibnu Abbas RA dalam Shahih Bukhari yang tertulis dengan “ inna an-Nabi saw lam yuharrim aal-muzara’ah wa lakin amara an-yarfuqa ba’duhum biba’dl”.
Kedua, teks hadits yang berbunyi “man kanat ahu ardlun falyazra’ha aw liyamnachha akhahu, fa in aba falyumsik ardlahu” Dalam Shohih Bukhari, bukanlah riwayat Ibnu Abbas melainkan Riwayat Abu Hurairah.
  1. Matan Hadits yang tertuliskan dengan “Inna an-Nabi Saw Lam Yanha ‘anhu…” Banyak sekali terdapat dalam kutub at-tis’ah, namun tidak tergabung dalam satu riwayat dengan teks  “man kanat lahu ardlun falyazra’ha auw liyamnachha akhahu, fa in aba falyumsik ardlahu.
Dengan demikian, penulis dalam buku tersebut, telah melakukan sedikitnya beberapa kehlilafan, yaitu: Pertama, Menuliskan dua hadits tersebut adalah satu hadits dari Ibnu Abbas. Kedua, Menuliskan dua hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
            Oleh karena itu, dalam penelitian hadits ini, sebenarnya mengharuskan untuk meneliti dua hadits, yaitu:
  1. Hadits dalam Sunan at-Turmudzi.
حدثنا محمود بن غيلان حدثنا الفضل بن موسى الشينا ني اخبرنا شريك عن شعبه عن عمرو بن دينار عن طا وس عن ابن عباس ان رسول الله صلى الله صلى الله عليه وسلم لم يحرم المزارعة. ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض[3]
  1. Hadits dalam Shahih Bukhari.
قال الربيع بن نافع ابو توبه حدثنامعاويه عن يحيى عن عن ابي سلمه عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كانت له ارض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان ابى فليمسك ارضه[4]
            Namun, demi kepentingan akademik dan dengan usaha maksimal penulis, dalam penelitian ini akan dilakukan pada salah satu hadits saja, yaitu pada hadits mengenai kebolehan Muzara'ah dalam Sunan At-Turmudzi.







BAB II

B. PENELITIAN SANAD.
  1. Teks Hadits yang diteliti:
باب المزارعة :  حدثنا محمود بن غيلان حدثنا الفضل بن موسى الشينا ني اخبرنا شريك عن شعبه عن عمرو بن دينار عن طا وس عن ابن عباس ان رسول الله صلى الله صلى الله عليه وسلم لم يحرم المزارعة. ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض[5]
  1. ابن عباس
    Susunan Ranji Sanad:
محمود بن غيلان
عمرو بن دينار
عن
(مخرج الحديث)الترمذي
حدثنا
شعبه
شريك
عن
عن
الفضل بن موسى الشينا ني
اخبرنا
حدثنا
طا وس
عن
 













c.         Data Perowi
Komentar ulama
Murid
Guru
Lahir-Wafat &Usia
Nama Perawi

An-Nasai: tsiqqah.
Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitabnya,  Ats-Tsiqqat
21Orang:
·  Al-jama’ah siwa abi dawud,
·  Ishaq bin Ibrahim,
·  Abu Hatim.
59 orang:
·  Ibrahim bin Habib bin Syahid
·  Ahmad bin shalih al-Misyri
·  al-Fadl bin Musa as-sainani



W: 239 H
Mahmud  (Mahmud bin Ghailan
al-Adawi)

Yahya bin Muin: Tsiqqah.
Abu Hatim: shoduq shalih









37 perawi:
·  Ibrahim bin Abdillah,
·  Bisri bin Hakam,
·  Mahmud bin Ghailan al-Marwazi.
40 perawi:
·  Ismail bin Abi Khaalid,
·  Ju’aid bin abdirrahman,
·  Syarik bin Abdillah.

L: 155 H,
W: 192/
191H.

Fadl (Al-Fadl bin Musa as-Sainani)


Yahya bin Muin dan ahmad bin Abdullah al-Ijliy: Tsiqqah. Ibrahim bin Ya'qub al-Juzjani :saduq tsiqqah. Aba Zur'ah: kana katsratul khata'
·  150 perawi: Ibrahim bin Sa’ad az-Zuhry,
·  Ibrahim bin Abi Abbas,
·  Ja’far bin Humaid,
·  Al-Fadl bin Musa as-Sainani.
· Ibrahim bin Jarir bin Abdullah
· Ibrahim bin Muhajir,
· Syu’bah bin al-Hajjaj.

L: 95 H,
W: 177 H, U: 82 th

Syarik (Syarik bin Abdillah bin Abi syarik an-Nakho’i)


Mahmud bin sa’’ad: Tsiqqah Ma’mun Tsabbata, hujjatan.
Zurai’: kana min ashdaqinnas fil-hadits
137 Perawi:
· Syarik bin Abdillah,
· Abdullah bin Idris,
· Yahya bin sa'ad al-Qattan
399 perawi:
·  Ibrahim bin Muhajir,
·  Ibrahim bin Maimun,
·  Amru bin Dinar.

L: 82 H,
W: 160H, Usia:78 th

Syu’bah
(Syu’bah bin al-Hajjaj bin Al-Ward al-Ataky al-Azdy)


An-Nasa’i: tsiqqah Tsabata,  Ibnu Uyainah: Tsiqqah, Tsiqqah,TsiqqahMi'tsar: atsbata an-Nass



51 orang:
·  Sufyan ats-Tsauri,
·  Su'bah bin al-hajjaj,
·  Malik bin Anas
62 perawi:
· Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
· Abu Hurairah
· Thaus bin Kaisan.
L:45/46H  W: 126 / 125 H
U: 80 H
Amru bin Dinar (Amru bin Dinar al-Makky)


Amru bin dinar: ashdaqul Hujjah.
Yahya bin Muin: tsiqqah. 
Abu zur’ah: tsiqqah
43 perawi:
·  Ibrahim bin Abi Bakar
·  Amru bin Dinar
·  Usamah bin Zaid.
17 perawi:
·  Jabir bin Abdillah,
·  Abdullah bin Abbas
·   Zaid bin Tsabit.
L:31H
W: 101 H /106 H
U: 70 th

Thaus ( Thaus bin Kaisan al-Yamani)


(komentar Tidak diperlukan karena tergolong sahabat)
· Ibrahim bin Abdillah bin Ma’bad bin Abbas
· Anas bin Malik
· Thaus bin Kaisan.
·  Nabi Saw
·  Umar bin Khattab
·  Utsman bin Affan.
L: 3 SH. W: 68 H
U: 72 th

Ibnu Abbas (Abdullah Ibnu Abbas bin Abdul Mutholib al-Qurasyi al-Hasyimi).



d.        Biografi Perowi dan Kebersambungan Sanad.
1.   Mahmud.
Beliau mempunyai nama lengkap Mahmud bin Ghailan al-Adawi. Nama kunyahnya adalah Abu Ahmad Al-Marwazy. Ia mempunyai 59 Guru hadits, ketiga diantaranya adalah Ibrahim bin Habib bin Syahid, Ahmad bin shalih al-Misyri, dan al-Fadl bin Musa as-sainani. Semua para pentakhrij hadits (al-Jama'ah) dan 21 perawi lainnya meriwayatkan hadits dari Mahmud kecuali Abu Dawud[6]. Artinya, Mahmud juga merupakan sebagian dari guru Imam Turmudzi.
Imam Turmudzi meriwayatkan dari Mahmud dengan menggunakan sighat haddatsana. Sesuai dengan teori tsansformasi hadits, shighat seperti menunjukkan metode as-sima'. Shighat seperti ini menjadikan nilai hadits itu tinggi karenna para perawi tersebut menedengar sendiri, baik berhadapan langsung maupun dibelakang tabir.[7] Mahmud wafat pada tahun 239 Hijriah dan at-Turmudzi wafat pada 279 Hijriyah pada usia 70 tahun[8], meskipun tidak ada keterangan tentang tahun lahir Mahmud, bisa dipastikan ada kemungkinan bertemu lansung. Apalagi, seperti keterangan Tadzhibul Kamal, Mahmud meriwayatkan hadits kepada semua pentakhrij hadits (al-Jama'ah), sehingga sanad antara keduanya dipastikan muttashil.
Begitu juga dengan shighat periwayatan mahmud dari Fadl yang menggunakan haddastana, ini menunjukkan sanadnya ittishal disamping dikarenakan relasi guru murid. Meskipun tahun lahir mahmud tidak diketahui, sangat mungkin ada pertemuan keduanya jika diukur dari selisih tahun wafat.
Penulis tidak bisa memperkirakan kapan lahirnya dan berapa usianya ketika wafat karena penulis tidak mendapatkan keterangan mengenai keduanya.
2.      Al-Fadl bin Musa as-Sainani.
Nama lengkapnya adalah Al-Fadl bin Musa as-Sainani. Mempunyai nama Kunyah Abu Abdillah al-Marwaziy. Ia meriwayatkan hadits dari 40 orang, diantaranya adalah Ismail bin Abi Khaalid, Ju’aid bin abdirrahman, Syarik bin Abdillah. Para perawi yang meriwayatkan hadits darinya, diantaranya adalah Ibrahim bin Abdillah, Bisri bin Hakam, Mahmud bin Ghailan al-Marwazi, dan 34 perawi lainnya. [9]
Beliau dilahirkan pada 115 Hijriyah dan wafat 192/191 Hijriyah. Shighat periwayatan yang digunakan oleh fadl dari  syarik adalah akhbarana yang mempunyai kedudukan sama dengan haddasana. Dan menunjukkan adanya sima' dalam metode periwayatannya. Dengan melihat selisih usia, keduanya pernah hidup dalam satu kurun selama 57 tahun. Sehingga sangat mungkin ada pertemuan langsung. begitu juga dengan relasi keduanya adalah guru dan murid dalam tadzhibul kamal. Dengan demikian, bisa dipastikan sanad antara fadl dengan syarik adalah  muttasil.
3.      Syarik.
Nama lengkapnya adalah Syarik bin Abdillah bin Abi syarik an-Nakho’i. Nama Kunyahnya adalah Abu Abdillah al-Kufi al-qadli. Beliau Ulama kufah yang hidup pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz. Lahir di Bukhara, wilayah Khurasan pada tahun  95 Hijriyah dan wafat pada tahun 177 Hijriyah Beliau meriwayatkan hadits dari banyak perawi, diantaranya adalah hisyam bin Urwah, 'Ashim bin ubaidillah, Syu'bah bin al-Hajjaj, dan lain-lain. Orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya setidaknya berjumlah sekitar 150 Orang, salah satunya adalah fadl bin Musa as-Sainani.[10]
Syarik meriwayatkan hadits secara mu'an'an dari Syu'bah, namun kecurigaan adanya tadlis, seperti pada hadits lain yang menggunakan shighat 'an, dalam hadits ini bisa dipastikan tidak ada. Ini dilihat dari posisi syarik yang menjadi murid Syu'bah dan sebaliknya, Syu'bah adalah guru Syarik. Usia keduanya yang hanya terpaut tujuh tahun. Sehungga dapat disimpulkan antar Syarik dan Syu'bah ada ketersambungan sanad.
         4. Syu’bah.
Nama lengkapnya adalah Syu’bah bin al-Hajjaj bin Al-Ward al-Ataky al-Azdy. Mempunyai nama kunyah Abu Bistham al-Wasity. Beliau adalah seseorang yang kaya hadits. Imam Bukhari menyatakan bahwa beliau mempunyai dua ribu Hadits, ini sangat mungkin disebabkan beliau meriwayatkan hadits  dari empat ratus perawi[11],  diantaranya adalah Ja'far as-Shadiq,  Sufyan ats-Tsauri, dan Amr bin Dinar. Beliau wafat di Bashrah, Iraq pada awal tahun 160 Hijriyah pada usia 78 tahun. Memang tidak ada keterangan tentang tahun lahirnya, namun  bisa diperkirakan ia lahir pada tahun 88 Hijriyah dengan melihat usia dan tahun wafatnya.
Seperti halnya periwayatan syarik dari syu'bah, periwatan syu'bah dari Amru bin Dinar ternyata juga menggunakan 'an. Namun hal ini tidak menunjukkan adanya permasalah serius karena relasi keduanya adalah guru dan murid seperti informasi al-Mazzy. Syu'bah juga mempunyai potensi bertemu yang cukup lama dengan Amru bin Dinar (sekitar 30 tahun), dengan demikian sanad antara keduanya dalam hadits ini bisa dipastikan muttashil.
5. Amru bin Dinar.
Beliau adalah Ulama Makkah.  Nama lengkapnya  adalah Amru binDinar al-Makky Abu Muhammad al-Atsram al-jumachi, beliau adalah budak Musa bin Badzam. Secara matematis, diukur dari jumlah usia dan tahun wafatnya, beliau lahir pada tahun 46/45 Hijriyah.
Imam Bukhari mengatakan bahwa ia memiliki sekitar empat ratus hadits. Beliau meriwayatkan hadits dari 62 orang[12], diantaranya sama dengan Thaus seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah Dkk.  Beliau juga meriwayatkan hadits dari Thaus. Ini menunjukkan bahwa Amr bin Dinar dan Thaus hidup semasa, namun Amr lebih muda terpaut sekitar dua dekade dibanding Thaus. Dengan demikian sanad anatara Thaus dan Umar bin Dinar adalah muttashil karena keduanya juga saling meriwayatkan satu sama lain.
  Terdapat 51 orang yang meriwayatkan hadits darinya, diantaranya adalah Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Malik bin Anas, dan  48 perowi lainnya termasuk Syu'bah bin al-Hajjaj. Hal ini juga menunjukkan bahwa sanad antara Amru bin dinar juga muttashil dengan syu'bah, meskipun menggunakan shigat 'an. Tabi'in yang dikenal alim ini wafat pada tahun 126 Hijriyah, tepatnya ketika Syu'bah menginjak usia 30 tahun.[13]
6. Thaus.
       Beliau bernama lengkap Thaus bin Kaisan al-Yamani.Beliau mempunyai nama kunyah Abu Abdurrahman al-Himyari, budak dari bahir bin Raisan al-Himyari. Ada ulama yang berpendapat bahwa nama sebenarnya ialah Dzakwan[14]. Thaus tidak meriwayatkan Hadits dari nabi karena beliau lahir, Tujuh tahun setelah wafatnya Rasululla Saw, pada 31 hijriyah[15]. Dengan demikian, beliau termasuk golongan tabi’in.  ia mempunyai guru Beliau adalah tabi’in yang terkenal dan dipercaya dan meriwayatkan setidaknya dari sekitar 17 sahabat dan tabiin, diantaranya yang terkenal adalah Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Abbas, dan  Zaid bin Tsabit. Mengamati ketersambungan atau tidaknya sanad pada fase Thaus ini, bisa diartikan bahwa sanadnya muttashil, terdapat komentar tentang Ketsiqqahannya dari guru dan murid tentang kualitas Thaus ini, meskipum shighat periwayatan dalam hadits ini menggunakan 'an.
       Menurut Ibnu Syaudzab: Beliau wafat di Makkkah pada 105 H dan dipersaksikan disana dan seluruh pelayat mengucapkan “Rahimallahu aba abdirrahman hajja arbaiina hajjatan” (semoga Allah merahmati Aba Abdirrahman (Thaus) yang telah melakukan hajii 40 kali seumur hidupnya”).
7. Ibnu Abbas. [16]
       Beliau adalah famili nabi yang telah banyak sekali meriwayatkan hadits. Beliau adalah anak dari paman Nabi Saw, Abdul Mutholib. Nama Lengkapnya adalah Abdullah Ibnu Abbas bin Abdul Mutholib al-Qurasyi al-Hasyimi (Abu al-Abbas al-Madani). Beliau lahir di Sya’ab 3 Sebelum Hijriyah. Karena ia adalah sahabat yang sangat dipercaya dan keilmuannya yang luas, tercartat ada sekitar 150 orang baik dari sahabat maupun tabi’in yang meriwayatkan hadits darinya. Salah satunya adalah Thaus bin Kaisan al-Yamani.
Beliau wafat pada bulan Ramadlan pada tahun 239 Hijriyah menurut Imam Bukhari dan Nasa'i. Sedangkan Abu raja' berpendapat ia wafat pada bulan Dzul Qa'dah tahun 149 Hijriyah.[17]
e. Kualitas Pribadi dan Kapasitas Intelektual Perawi.
  1. Mahmud bin Ghailan.
Beliau menurut Imam nasa'i adalah perawi Tsiqqah, begitu juga dengan Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqqat.[18] Karena tidak ada ulama yang pendapatnya menunjukkan dekatnya kepada jarh ataupun sifat jarhnya, maka sudah bisa dipastikan bahwa Mahum menduduki peringkat Ta'dil ke III dan hadits-hadits dari Mahmud juga mempunyai hujjah yang kuat karena kredibilitasnya yang mumpuni.
  1. Al-Fadl bin Musa as-Sainani.
Banyak sekali ulama yang menyatakan bahwa beliau adalah perawi yang tsiqqah, diantaranya adalah Yahya bin Mu'in, Waki', dan Ibnu Hibban. Sementara Abu hatim berkomentar ia Shaduq, tsiqqah.[19] Dari komentar ulama tersebut  dapat disimpulkan bahwa Fadl adalah perawi yang adil atau berada ditingkatan Ta'dil III jika dilihat dari pendapat mayoritas dan Ta'dil IV Jika merujuk pada pendapat Abu Hatim. Namun, penulis berpegang kepada pendapat mayoritas sehingga hukum hadits dari Fadl bisa dijadikan sebagai hujjah.
  1. Syarik bin Abdillah.
Terdapat beberapa perbedaan komentar tentang kualitas syarik. Para perawi yang berpendapat bahwa Syarik adalah perawi Tsiqqah, diantaranya  adalah Yahya bin Muin dan ahmad bin Abdullah al-Ijliy. Ibrahim bin Ya'qub al-Juzjani berkomentar bahwa Syarik perawi yang shaduq tsiqqah dan Abu Hatim ketika ditanya oleh anaknya, Abdurrahman, beliau menjawab Shaduq. Sementara, Aba Zur'ah ketika ditanya tentang syarik, ia menjawab: "Kana katsurul khata', shahibu wahmin, wa hua yaghladzu ahyanan" ('syarik banyak kesalannya, pemilik prasangkan, dia juga terkadang-kadan lupa karena salah").[20]
Imam Nasa'I berkomentar bahwa Syarik: "Laisa bihi Ba'ts" ("tidak ada yang buruk darinya" ). Dengan demikian, kemungkinan terburuk apabila kita merujuk pada komentar Abu Zur'ah mengenai Syarik, ditinjau dari analisis jarh wa ta'dil, maka Syarik sebenarnya berada ditingkatan jarh paling ringan karena itu menunjukan kelemahannya. Maksudnya, boleh ditulis hadits-haditsnya untuk I'tibar karena sama hukumnya dengan tingkat ta'dil yang paling bawah. Namun, apabila kita merujuk kepada komentar ulama yang mengatakanaya Tsiqqah, shaduq atau la ba'tsa bih, maka hadits-haditsnya layak untuk dibuat hujjah, meskipun ada komentar yang tidak menunjukan keahliannya dari an-Nasa'i.
Dengan berpegang pada kaedah jarh wa ta'dil, maka Syarik akan menduduki peringkat ta'dil ke III dan ke IV, dan posisi jarh ke I. oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa ia tidak mempunyai kedlabitan yang mumpuni sehingga kapasitasnya sebgai tranmiter hadits tidak dapat dijadikan hujjah.
  1. Syu'bah bin Al-Hajjaj
Banyak sekali komentar Ulama yang mengatakan bahwa Syu'bah adalah sahabat yang Tsabit, diantaranya adalah Muhammad bin Sa'ad: Kana Tsiqqatan ma'munan, tsabtun, hujjatan. Ahmad bin Abdillah al-Ijly juga demikian, ia berkomentar wasitii sakan al-Bashrah  Tsiqqatun , tsabtun fil hadits. Bahkan Ahmad bin Hambal ketika ditanya oleh Muhammad ibnu Abbas An-Nasa'i: "man atsbata an-Nass, syu'bah aw sufyan?", beliau menjawab: " Kana sufyan rajulan Hafidzan wa kana rajulan shalihan, wa lakin Syu'bah atsbata minhu wa anqa rijalan". Maksudnya, Syu'bah lebih Tsabit dari pada Sufyan ats-Tauri.[21] Dengan demikian, seperti halnya Amru bin Dinar, Syu'bah juga menduduki kelas paling atas dalam hal keahlian perawi. Praktis, kredibilitasnya sebagai perawi hadits sudah sangat mumpuni.
  1. Amru bin Dinar al-Makky
Mengenai Jarh wa Ta'dilnya,  Amru bin Dinar adalah perawi yang kredibilitas yang istimewa dikalangan perawi lain. Mi'star ketika ditanya oleh Ibnu Uyainah; "Man Atsbata an-Nass?", Mi'tsar menjawab: "ma Ra'aitu atsbata min Amr bin Dinar wa al-Qosim bin Abdurrahman". An-Nasa’I juga berkomentar: tsiqqah Tsabt. Sedangkan   Ibnu Uyainah berkomentar sama namun dengan shighat lain: Tsiqqah, Tsiqqah, Tsiqqah.
Dalam ilmu jarh wa ta'dil, komentar seperti ini menunjukkan bahwa perawi berada pada tingkatan ta'dil paling atas. Praktis, kredibilitasnya sebagai perawi sudah tidak bisa dipermasalahkan lagi.
  1. Thaus bin Kaisan.
Amru bin dinar, Yahya bin Mu'in dan abu Zur'ah berpendapat bahwa Thaus adalah perawi yang tsiqqah. Bahkan ibnu Abbas (gurunya) berkata; “Inni la adzunnu Thaus min ahl al-jannah” (sesunggunya aku telah melihat Thaus sebagai ahli surga!). Dengan demikian, Thaus termasuk perawi tabaqah tabi'in yang ahli.


f. Penilaian Terhadap Kualitas Sanad.
Mencermati shigat periwayatannya, kedua diantara perawinya  menggunakan haddatsana, satu perawi menggunakan akhbarana, dan empat perawi lainnya meriwayatkan secara mu'an'an (menggunakan shighat 'an). Namun itu tidak berbengaruh negatif terhadap hadits ini karena dari perawi pertama sampai akhir menunjukkan sanadnya muttashil karena ada relasi guru-murid dan selisih usia, tahun lahir dan wafat  yang logis.
Dari keempat perawi tersebut, keseluruhan perawi sebenarnya mendapatkan predikat Tsiqqah, namun ada satu ulama yang berkomentar terhadap salah satu perawi yang menunjukan ketidak dlabitan perawi dengan tegas (yaghladzu ahyanan) tapi tidak terlalu parah. Penulis brkesimpulan bahwa sanad ini tidak sepenuhnya shahih karena terdapat perawi yang kurang disepakati kedlabitanyya oleh ulama lain. Oleh karena itu, sanad ini bisa dinilai dengan sanad yang hasan (hasanul Isnad).
C. PENELITIAN MATAN.
1. Munasabah Dengan Ayat al-Qur'an
 Kata kunci hadits dalam penelitian ini adalah kata al-muzara'ah. Ibni Abbas dalam hadits ini menjelaskan bahw Rasulullah tidak mengharamkan muzara'ah. Muzara'ah secara nahwiyah berbentuk isim mashdar dari fi'il yang berfaedah musyarakah (persekutuan). Akar katanya adalah zara'a (za', Ra', dan Ain). Dalam al-Qur'an, tehitung ada sepuluh kata yang berasal dari kata zara'a, yaitu: al-An'am 141, ar-Ra'd 4, Ibrahim 37, an-Nakhl 11, al-Fath 29, al-Kahfi 32, as-Sajadah 27, az-Zumar 21, dan as-Syu'ara' 148, dan ad-Dukhan 26[22]. Jika dicermati, dari keseluruhan ayat dalam alqur,an yang terdapat kata yang seakar dengan muzara'ah, hanyalah berorientasi untuk menunjukkan kebesaran Allah yang telah menganugerahkan tanah dan tanaman kepada umat manusia.  Diantaranya adalah:
Surat as-Sajadah ayat 27:
MÎ6/Zム/ä3s9 ÏmÎ/ tíö¨9$# šcqçG÷ƒ¨9$#ur Ÿ@ϨZ9$#ur |=»uZôãF{$#ur `ÏBur Èe@à2 ÏNºtyJ¨V9$# 3 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ ZptƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcr㍤6xÿtGtƒ ÇÊÊÈ  
Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Surat an-Nakhl ayat 27:
 öNs9urr& (#÷rttƒ $¯Rr& ä-qÝ¡nS uä!$yJø9$# n<Î) ÇÚöF{$# Îãàfø9$# ßl̍÷ãYsù ¾ÏmÎ/ %Yæöy ã@à2ù's? çm÷ZÏB öNßgßJ»yè÷Rr& öNåkߦàÿRr&ur ( Ÿxsùr& tbrçŽÅÇö7ムÇËÐÈ  
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya Makan hewan ternak mereka dan mereka sendiri. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan?”
Dalam al-Qur'an, ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menunjukkan kekuasaanya kepada manusia salah satunya dengan menciptakan tanah yang bisa ditumbuhi berbagai macam tanaman. Hal ini mengharuskan kepada manusia untuk mensyukuri karunia tersebut dengan merawatnya. Namun, dalam al-Qur'an tidak disebutkan secara jelas mengenai cara perawatannya. Oleh karena itu, hadits tentang muzara'ah tersebut sekaligus sebagai penjelas dari pada al-Qur'an. 


2. Munasabah dengan Hadits-Hadits lain.
Dalam Shahih Bukhari, banyak juga yang menunjukkan perintah bermuzara'ah, diantaranya adalah:
قال الربيع بن نافع ابو توبه حدثنامعاويه عن يحيى عن عن ابي سلمه عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كانت له ارض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان ابى فليمسك ارضه[23]
"Barang siapa memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu"
Dalam hadits tersebut, meskipun tidak ada teks tentang muzara'ah, namun ada lafadz "Liyamnachha akhahu", maka lafadz ini juga bisa diartikan dengan memberikan faedah dengan cara merawat bersama dengan orang lain dan hasilnya dibagi sesuai perjanjian diantara keduanya.
Terdapat juga hadits lain yang setema, yaitu:
عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما ان رسولالله صلى الله عليه وسلم اعطى خيبر اليهود على ان يعملوها و يزرعوها ولهم شطر ما خرج منها
Dari Nafi' dari Ibnu Umar RA. " sesunggunhnya Rasulullah Saw memeberikan-lahan pertanian- khaibar kepada orang-orang yahudi untuk mereka kelola dan pakai bercocok tanam, dan bagi mereka separuh dari hasilnya.[24]
3. Fakta Sejarah.
Muzara'ah sebenarnya merupakan sebuah akad yang telah disepakati kebolehannya oleh para ulama. Hal itu dikarenakan banyak sekali hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah menyerahkan Tanah penduduk muslim di Khaibar kepada Orang Yahudi Untuk mereka kelola dan hasilnya dibagi bersama sesuai kesepakatan. Oleh karena itu, banyak hadits yang semakna dengan mUzara'ah namun disebutkan dengan mukhabarah karena berasal dari Khaibar[25], dimana Rasulullah mempelopori akan muzara'ah didaerah tersebut dengan orang-orang yahudi.
4. Perbandingan Rasionalitas.
            Dalam Ilmu Nahwu, lafadz Muzara'ah adalah isim mashdar dan berasal dari fi'il madli zaara'a, artinya adalah saling bercocok tanam. Oleh karena itu, arti muzara'ah secara isltilah adalah akad antara pemilik tanah dan penggarap dan keuntungannya dibagi untuk kedua pihak sesudah menghasilkan (panen) sesuai perjanjian dalam akad.
           Adanya penambahan syarat, berupa harus dibagi sesudah panen sesuai perjanjian pada definisi muzara'ah dalam disiplin ilmu fiqh, adalah konsekuensi untuk menghindari akad gharar yang menyebabkan kerugian salah satu pihak. Karena jika ketentuan untungnya dibagi menurut bagian tanah diawal akad, seperti:  tanah sepernam ini untuk pemilik dan tanah seperempat yang ini untuk penggarap, maka itu akan beresiko kerugian yang dialami oleh salah satu pihak disebabkan beberapa hal, seperti hanya sebagian tanaman saja berbuah atau panen.
            Menurut pengamatan penulis, seperti halnya kesepakatan mayoritas ulama fiqh klasik dan keseluruhan ulama fiqh kontemporer, hukum Muzara'ah itu diperbolehkan. Hal itu disebabkan selain berpedoman kepada dalil aqli kebolehan akad muzara'ah dari beberapa hadits sahih,  penulis juga mempunyai dalil aqli yang menunjukkan adanya beberapa hikmah dalam akad muzara’ah, salah satunya adalah memberikan harapan bagi orang yang mempunyai tanah namun tidak mempunyai skil menanam untuk menikmati hasil tanamannya, dan juga harapan bagi orang-orang yang sama sekali tidak memilki tanah namun mempinyai skil untuk menanam
5. Kesimpulan Nilai Matan hadits.
      Dengan melihat perbendingan dalam al-qur’an dan hadits hadits lain, bisa dipastikan bahwa matan hadits dalam penelitian ini terhindar dari syadz dan illlat. Ini berpedoman pada pendapat Imam Syafi’I (w 204 H/820 M) yang mengatakan bahwa Suatu hadits baru dinyatakan Syadz apabila hadits yang diriwayatkan perawi yang tsiqqah bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi tsiqqah lainnya.[26] Dengan demikian, matan hadits bdalam penelitian ini adalah Shahih.

D. PEMAHAMAN HADITS.
Dalam Sunan an-Nasa'I, terdapat dua hadits yang bertentangan tentang muzara'ah, Pertama : hadits yang menerangkan kebolehan muzara'ah (hadits yang diteliti).
حدثنا محمود بن غيلان حدثنا الفضل بن موسى الشينا ني اخبرنا شريك عن شعبه عن عمرو بن دينار عن طا وس عن ابن عباس ان رسول الله صلى الله صلى الله عليه وسلم لم يحرم المزارعة. ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض[27]
Kedua:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي حُصَيْنٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا إِذَا كَانَتْ لِأَحَدِنَا أَرْضٌ أَنْ يُعْطِيَهَا بِبَعْضِ خَرَاجِهَا أَوْ بِدَرَاهِمَ وَقَالَ إِذَا كَانَتْ لِأَحَدِكُمْ أَرْضٌ فَلْيَمْنَحْهَا أَخَاهُ أَوْ لِيَزْرَعْهَا[28]
“Rasulullah melarang mereka untuk melakukan urusan yang mendatangkan keuntungan (memberi tanah dengan bagi hasil atau pembayaran tunai). Rasulullah juga berkata kepada mereka jika mereka mempunyai tanah, mereka harus menggarapnya sendiri atau menyerahkannya kepada saudara-saudara mereka untuk menggarapnya”.
Pemahaman:
Pemahaman tentang dua hadist ini menggunakan metode kompromistis melalui pendekatan Rajih-Marjuh dan penjelasan kitab syarah.
ü Imam Nasa’I menjelaskan tepat setelah hadits pertama bahwa  Abu Isa berpendapat bahwa hadits ini hasan sahih dan juga diriwayatkan oleh imam bukhari dengan lafadz yang berbeda. Sedang hadits rafi’ adalah hadits muttarib[29].
ü Hadits kedua digunakan oleh ulama yang mengharamkan muza’ra’ah karena menganggapnya sama dengan persewaan tanah. Namun, dalam kitab kitab Tuhfah Al-Ahwadzi[30], syarah sunan at-Turmudzi disebutkan bahwa hadits tersebut dlaif karena menurut imam Nasa’I Mujadid tidak mendenar dari Rafi’. Selanjutnya dalam kitab tersebut juga dijelaskan bahwa bahwa hadits tentang pelarangan muzara’ah bukanlah bermakna littahrim tetapi littanzih. Kebolehan akad muzara'ah juga diperkuat oleh hadits riwayat bukhari dan selainnnya, sebagai berikut:

عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ قَالَ : قُلْت لِطَاوُوسٍ لَوْ تَرَكْت الْمُخَابَرَةَ فَإِنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهَا . فَقَالَ : إِنَّ أَعْلَمَهُمْ يَعْنِي اِبْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَنْهَ عَنْهَا . وَقَالَ : " لَأَنْ يَمْنَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ عَلَيْهَا خَرَاجًا مَعْلُومًا" .
ü  Dengan demikian, maka hadits tentang dalam penelitian ini tentang kebolehan akad muzara'ah dinilai lebih rajah disbanding dengan hadits kedua yang melarang melakukan urusan yang mendatangkan keuntungan (memberi tanah dengan bagi hasil atau pembayaran tunai).

E. KESIMPULAN.
            Dengan demikian, dari seluruh analisis penelitian baik segi matan maupun matan, hadits ini dapat disimpulkan bahwa Hadist ini Hasan karena terdapat sifat kurang dlabit dari salah satu perawi. Namun, jika diperinci, hasan dari segi sanad dan shohih dari  segi matan. Hadits seperti ini biasa disebut Hasanun Shahihun.



F. DAFTAR PUSTAKA       
Ø    A.Y. Winsink, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz al-hadits an-Nabawi, Leiden:     Barel, 1942Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah.  Sunan At-Tirmidzi, Beirut: Dar el-fikr, 1994.
Ø    Ibnu Hajar al-Atsqalani. Fathul Baari, Penjelasan Kitab Shahih Bukhari (Terjemahan bahasa Indonesia oleh Amiruddin).Jakarta.: Pustaka Azzam.2005
Ø    Ahmad bin Ali Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Taghliq At-ta’liq Ala Shahih Bukhari Ardan: Dar Umar, 1999.
Ø    Sumbulah, Umi, Buku ajar Ulumul Hadits I, (Departemen Agama, UIN Malang, Fakultas Syari'ah. 2007).
Ø    Al-Mazzy, Jamaluddin Abi Al-Hujjaj Yusuf. Tadzhib al-Kamal fi Asma ar-Rijal .Beirut: Dar el-Fikr. 2002.
Ø    Rahman,Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam (terjemahan dari buku Economic Doctrines of Islam), (Yogjakarta: Dana Bhakti Wakaf 1995)
Ø    Bustamin M Isa. Metodologi Kritik Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2004
Ø    Kitab Digital: Maktabah as-Syamilah/ tuhfah al-ahwadzi/Kitab al-buyu'/bab al-Muzara'ah.



[1]  Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2002)  Hal 156.
[2] Lihat: A.Y. Winsink, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz al-hadits an-Nabawi, Leiden: Barel, 1942) Juz 2 hal 331
[3] Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan At-Tirmidzi, Beirut: Dar el-fikr, 1994. Juz 2, hal 92
[4]Ahmad bin Ali Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Taghliq At-ta’liq Ala Shahih Bukhari (Ardan: Dar Umar, 1999). Juz 3, hal 312.
[5] Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan At-Tirmidzi, Beirut: Dar el-fikr, 1994. Juz 2, hal 92
[6] Dikutip secara ringkas dan diterjemahkan dari Al-Mazzy (selanjutnya disebut Al-Mazzy, Tadzhib al-Kamal fi Asma ar-Rijal (Beirut: Dar el-Fikr 2002) Juz 27, hlm 305-308.
[7] Sumbulah, Umi, Buku ajar Ulumul Hadits I, (Departemen Agama, UIN Malang, Fakultas Syari'ah. 2007). Hlm 27.

[9] Al-Mazzy, Op.Cit.,Juz; 19 hal 254-257.
[10]Ibid., Juz 12.  Hal 462-474
[11] Al-Mazzy. Op.Cit.,  Juz 12. Hal 479-495.
[12] Lebih banyak dari pada Thaus. Mungkin, karena umurnya yang terpaut 10 tahun lebih panjang dari Thaus.
[13] Al-Mazzy. Op.Cit., Juz 22. Hal 5-13.
[14] Ibid., Juz 13, hal 357-374.
[15] dihitung dari tahun wafat dan jumlah usia.
[16] Ibid., Juz 15, hal 154-162.
[17] Ibid
[18] Ibid., 308- 309.
[19] Ibid., 257-258.
[20] Ibid., Juz 12.  Hal 462-474
[21] Banayk sekali pernyataan yang serupa, diantaranya dari Muhammad bi Sa'ad dan yayya bin said al-Qattan. Menarik ketika mengamati para ulama hadits kerap membanding-bandingkan ketsabitan antara Syu'bah dan Sufyan karena keduanya saling meriwayatkan hadits satu sama lain, hidup satu masa, dan keduanya sangat terkenal ketsabitannya. Namun, ketika salim bin qutaibah datang kekufah setelah dari Bashrah, ia ditanya oleh sufyan "min aina anata?", Qutaibah menjawab: min al-Bashrah. Sufyan lantas berkata: Ma fa'ala Ustadzuna Syu'bah? "(apa yang telah dilakukan oleh ustadz kita, Syu'bah?)". Al-Mizzy, Op.Cit,. 491
[22] Hasil pencarian menggunakan petunjuk kamus al-Qur’an. Lihat: Muhammad Sa’id al-Lahm, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfadz al-Qur’an al-Karim. (Beirut: Dar el-Ma’rifah. Cet II. 2008). Hlm 576-577.
[23]Shahih Bukhari, Maktabah Dahlan,Jilid 2. hal 883 dan  Ahmad bin Ali Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Taghliq At-ta’liq Ala Shahih Bukhari (Ardan: Dar Umar, 1999). Juz 3, hal 312.
[24] Ibnu Hajar al-Atsqalani. Fathul Baari, Penjelasan Kitab Shahih Bukhari (Terjemahan bahasa Indonesia oleh Amiruddin).(Jakarta.: Pustaka Azzam.2005) jilid 13, hlm 248.
[25] Ibid., 246.
[26] Bustamin M Isa. Metodologi Kritik Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2004. hlm 57 dan Sumbulah, Umi. Op. Cit., hal 54.
[27] Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah.  Sunan At-Tirmidzi, Beirut: Dar el-fikr, 1994. Juz 2, hal 92
[28] Ibid., 92.
[29] Ibid., 93
[30] Keterangan syarah, dikuti dari kitab digital, Maktabah as-Syamilah/ tuhfah al-ahwadzi/Kitab al-buyu'/bab al-Muzara'ah.