Rabu, 20 Oktober 2010

ASURANSI KONVENSIONAL PERSPEKTIF FUQAHA'


PENDAHULUAN
Diskripsi masalah.
            Sudah menjadi hakikat yang sebenarnya, bahwa islam adalah agama yang Universal (menyeluruh bagi kepentingan seluruh umat manusia). Oleh karena itu dalam islam sudah tertera aturan-aturan bagi manusia baik yang berhubungan langsung kepada allah maupun yang berhubungan dengan antar sesame manusia. Hubungan yang kedua inilah yang biasa disebut oleh Fuqoha (ulama-ulama ahli fiqh) dengan Fiqh Muamalah.
          Pada awalnya, dasar hukum yang mutlak kebenarannya adalah Alquran sebagai sumber hukum utama dan hadist sebagai penjelas dari alquran. Namun seiring dengan berkembangnya zaman yang dari waktu ke waktu selanjutnya pasti terdapat masalah-masalah baru dan disertai dengan situasi dan kondisi yang berubah-ubah setiap saat, maka tidak mungkin kalau kita mengartikan alquran dan hadist secara tekstual penuh tanpa menafsirkan dan memaknainya secara simbolik. Atas dasar inilah, dalam perkembangannya dalam hukum islam terdapat dua hukum tambahan yaitu Qiyas dan Ijma’.
Hadirnya Qiyas dan ijma’ ini membawa semacam pencerahan hukum bagi masalah-masalah baru yang digali secara maknawiyah karena memang tidak ada hukum yang tertera secara lafdziah dalam alquran dan hadist.
             Salah satu aspek hukum yang didalamnya banyak sekali masalah baru adalah sapek ekonomi yang dalam arti sempit fuqoha menyebutnya dengan  fiqh muamalah[1] (tidak termasuk masalah pernikahan dan hukum pidana). Salah satu masalah ekonomi yang menjadi pro-kontra perihal halal-haramnya adalah masalah Asuransi. Perbedaan pendapat ini tentu didasari dengan alasan dan sudut pandang yang berbeda-beda ditinjau dari segi sejarah, tujuan ,mafsadah, dan maslahah yang terdapat dalam asuransi itu sendiri.
RUMUSAN MASALAH
a)      Apakah asuransi itu?
b)      bagaimanakah hukum asuransi menurut syari’ah?
c)      Bagaimanakah argumen-argumen ulama-ulama fiqh sehingga mareka berbeda pendapat mengenai hukum asuransi?
TUJUAN PENULISAN MAKALAH
a)      Untuk mengetahui secara detail mengenai asuransi.
b)      Untuk mengetahui hukum asuransi menurut syariah.
c)      Untuk mengetahui perbedaan sudut pandang ulama-ulama fiqh sehingga menimbulkan perbedaan pendapat.










                                               
BAB I
TINJAUAN UMUM MENGENAI ASURANSI 
 a.Pengertian Asuransi.
              Asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan padanan kata  ‘pertanggungan atau jaminan’.
            Menurut pasal 246 wetboek van Kophandel (kitab undang-undang perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai penggantian uang kerugian, yang mungkin diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.[2]
            Devinisi Asuransi menurut Undang-undang Republik Indonesia tentang usaha perasuransian Bab 1 pasal 1 ; “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita oleh tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidakl pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan[3].
            Dalam pandangan ekonomi, asuransi merupakan metode untuk mengurangi resiko dengan jalan memindahkan dan mengmbinasikan kketidakpastian akn adanya kerugian keuangan (finansial). Demikian juga dengan pendapat Adam Smith, seorang pakar ekonomi barat berpendapat bahwa asuransi dengan menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak, membuat kerugian menjadi ringan dan mudah bagi seluruh masyarakat.
            Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (at-ta’min) adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak;pihak yang satu berkewajiban untuk membayar dan pihak yang lain berkewajiban untuk memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
            Muhammad Maslehuddin, pakar ekonomi islam Indonesia mendevinisikan asuransi sebagai suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang , yang dapat ditimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut  menimpa salah seorang diantara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan keseluruh kelompok.  
b. Pembagian Asuransi..
              Secara spesifik, asuransi terbagi menjadi dua, yaitu asuransi kecelakaan dan asuransi jiwa. Dalam asuransi kecelakaan, seseorang harus memebayar dengan jumlah tertentu, apabila ia mengalami kecelakaan disuatu hari maka ia akan menerima uang jaminan sebesar yang telah mereka sepakati bersama. Namun apabila ia ditakdirkan lolos dari kecelakaan maka ia tidak akan menerima sepeserpun uang yang telah ia setorkan (uang hangus).Bila kita lihat dari sisi ini, maka sekilas terlihat jelas bahwa terdapat unsur maysir (judi) karena kedua belah pihak menggantungkan keuntungan dan kerugian pada sesuatu dan juga diiringi uang hangus ketika sesuatu itu tidak terjadi.
          Mengenai hal ini Meskipun Yusuf Alq-ardawi dalam kitabnya Halal-Haram sempat menggolongkan asuransi sebagai syirkah at-ta’wuniah, namun syirkah ta’wun dalam asuransi menurut beliau termasuk syirkah yang fasid karena jauh sekali dengan tabiat perdaganagan dan solidaritas bekerja menurut islam yang melarang untuk penanggungan kerugian hanya dialami oleh  salah satu pihak.[4]
BAB II
HASIL IJTIHAD PARA FUQOHA
MENGENAI ASURANSI
             Dikalangan Foqoha dan cendekiawan muslim, secara terperinci ada empat macam pendapat mengenai hukum asuransi, yakni;
1. Pendapat Uama yang mengharamkan asuransi dalam segala macam bentuknya sekarang ini termasuk asuransi jiwa. Pendapat ini berpacu dengan cara pengistimbathan hukum sebagai berikut :
a.       asuransi pada hakikatnya sama dengan judi. atau maysir
b.      asuransi menandung unsur ketidakpastian atau gharar.
c.       Premi-premi yang telah dibayarkan diputar oleh pemegang polis dalam    praktek kredit berbunga (riba).
d.      asuransi termasuk jual-beli atau tukar menukar mata uang tidak secara tunai.
e.       dalam asuransi, objek bisnisnya digantungkan pada hidup-matinya seseorang yang berarti mendahului takdir Allah.
f.       asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan.
            Ulama-ulama yang berpendapat asuransi hukumnya haram, cenderung menqiyaskan asuransi dengan judi,  karena dalam asuransi kedua belah pihak menggantugkan keuntungan dan kerugian pada sesuatu yang tidak pasti terjadi. Disamping itu, kerugian hanya ditanggung salah satu pihak.
            Masih menurut mereka, meski ulama-ulama yang menghalalkan riba berpendapat kedua pihak sudah saling merelakan dan mengetahui manfaatnya, namun transaksi seperti tidak sah karena jika dengan alasan demikian, maka antara orang yang memakan riba dengan orang yang memberinya riba adalah saling merelakan. Demikian pula dengan orang-orang yang bermain judi juga saling merelakan. Namun demikian kerelaan mereka tidak ada artinya selama muamalah mereka itu tidak ditegakkan pada asas keadilan yang jelas tidak dicampuri dengan penipuan dan kedzaliman serta perampasan oleh satu pihak terhadap pihak lain pada keadilan dan tidak saling membahayakan adalah suatu prinsip. [5]
            Mahdi Hasan, seorang mufti dari India melarang praktik asuransi dikarenakan;
a.       Asuransi tidak lain adalah praktek riba berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan antaradua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib adanya.
b.      Asuransi adalah judi, karena ada penggantungan kepemilikan pada munculnya risiko.
c.       Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, karena perusahaan asuransi meskipun milik negara, namun perusahaan asurnsi merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan cara riba.
d.      Aalam asuransi jiwa juga ada unsur penyerupaan (risywah), karena kompensasi didalamnya untuk sesuatu yang tidak dapat dinilai[6].
            Para fuqoha yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya haram diantaranya adalah; Muhammad Yusuf al-qardawi (pengarang Al-halal wa al-haram) Mahdi Hasan (Mufti Deopland Saharanpur India), Sayid Sabiq (pengarang Fiqh sunnah) Abdullah Al-Qalqili (Mufti Jordania) Muhammad Ali ( Mufti al-Ulum Launpur India)
2. Pendapat Ulama yang mengahalalkan asuransi.
   Alasan dan sudut pandang pendapat ini adalah;
a.       Tidak ada nash  Alqur’an dan Hadist yang melarang asuransi.
b.      Ada kesepakatan dan kerelaan antara kedua pihak.
c.       Saling menguntungkan kedua pihak.
d.      Mengandung kepentingan umum (maslahah ‘ammah), sebab premi-premi yang  terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan produktif.
e.       Termasuk akad mudharabah, yaitu akad kerja sama antara pemegang polis (pihak terjamin diartikan menyertakan modal) dengan perusahaan asuransi yang memutar modal.
f.       Asuransi termasuk syirkah at-ta’wuniah, yaitu usaha bersama yang didasarkan pada prinsip saling tolong menolong.
            Lebih lanjut, Fuqoha yang berpendapat atas kehalalan asuransi mengajukan argumentasi yang secara ringkas sebagai berikut;
a.       Asuransi berbeda dengan perjudian ataupun pertaruhan, karena judi adalah suatu permainan yang berdampak negatif lebih besar dari pada manfaat. Sementara asuransi adalah suatu anugrah karena ia menandingi mereka dari bahaya yang mengancam jiwa.
b.      Ketidakpastian dalam asuransi bukan unsur gharar yang dilarang dalam syariat, karena pada dasarnya seperti yang tersirat dalam ucapan-ucapan Nabi SAW, bahwa kontak penjualan dilarang bila tidak sanggup menyerahkan barang yang dijanjikan jarena sifatnya yang tidak tentu sehingga menyebabkan perselisihan. Menurut keterangan ini asuransi tidak akan menimbulkan perselisihan dan jauh dari ketidakpastian khususnya ketika disertai dengan satu kompensasi yang pasti. Sebenarnya kompensasi nyata dalam asuransi adalah keamanan yang dirasakan oleh peserta asuransi sebagai pengganti untuk setiap cicilan.
c.       Asuransi jiwa bukan untuk menggantikan kehendak-Nya, tapi itu adalah langkah-langkah untuk memperkecil resiko dengan cara saling menolong dan membantu.
d.      Unsur riba dalam asuransi jiwa bisa dihapus karena asuransi ini membolehkan paserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang telah dibayarnya.[7]
            Fuqoha yang menghalalkan atas segala bentuk  asuransi diantaranya adalah; Mustafa Ahmad Zarqa (guru besar Hukum Islam fakultas Syariah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Islam di Universitas Kairo Mesir) Abdul Wahab khallaf ( pengarang ilmu Ushul Al-fiqh) Abdurrahman isa (pengarang Almuamalat al-haditsah wa ahkamuha)[8]
3. Pendapat ulama yang merincikan hukum asuransi menjadi dua.
            Ulama ini berpendapat bahwa asuransi bisa halal dan juga bisa haram, dengan rincian sebagai berikut:
a.      Halal, apabila  asuransi tersebut bersifat sosial dan tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam islam.
b.      haram, apabila asuransi tersebut semata-mata bersifat komersil dan condong dijadikan sebagai objek bisnis bukan tujuan utama sebagai maslahah amah.
            Alasan-alasan pada rincian pertama secara garis besar sama dengan pendapat ulama yang menghalalkan asuransi, sedangkan alasan-alasan pada rincian kedua secara garis besar cenderung mengikat dengan pendapat pertama. Pendukung pendapat ini antara lain adalah; Muhammad Abu Zahrah (guru besar hukum islam di universitas Kairo Mesir).[9]
4. Pendapat Ulama yang menganggap asuransi adalah Syubhat.
         Adapun alasan-alasan pendapat ini adalah tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi. Oleh karena itu masih menurut pendapat ini konsekuensinya adalah kita dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi ketika dalam keadaan darurat atau terpaksa.[10]
      

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan;
a. Tanggapan penulis mengenai perbedaan pendapat ulama tentang asuransi.
Dari empat pendapat ulama mengenai hukum asuransi konvensional, Dengan banyaknya ulama yang setuju dengan pendapat dengan pendapat yang pertama dan yang kedua maka dua pendapat tersebut bisa dikatakan sebagai pendapat yang kuat dari segi kuantitas mujtahidnya yang biasa dalam ilmu fiqh dengan pendapat Jumhur ulama’.
Secara benar atau tidaknya ijtihad tersebut memang tidak dapat dipastikan oleh siapapun kecuali Allah SWT.  Manusia khususnya para ulama fiqh, mujtahid, dan cendekiawan muslim memang hanya bisa berikhtiar lewat usaha mulia mereka dalam mencari hukum suatu masalah yang baru yang tidak tertulis secara tekstual dalam alquran dan hadist dan juga tidak termasuk aturan pokok atau hukum Qath’i (aturan yang turun langsung dari Allah SWT) demi kemaslahatan seluruh umat.
Dalam ilmu ushul fiqh, Islam sudah memaklumi batas akal manusia yang sangat terbatas dibanding Tuhan. Oleh karena itu, mengenai ijtihad suatu hukum, dalam kaidah ilmu ushul fiqh disebutkan bahwa “Ulama yang berijtihad dan ijtihadnya itu benar maka ia akan mendapat dua pahala dan jika ijtihadnya itu salah maka ia akan mendapatkan satu pahala.” Dalam kaidah tersebut tidak ada istilah berdosa bagi ulama yang salah dalam berijtihad. Hal ini memang sudah menjadi sunnatullah karena hanya Allah yang bisa memutuskan benar atau tidaknya ijtihad seseorang.
Disamping itu, islam sangat menghargai maksud baik para ulama dalam memutuskan suatu hukum. Sehingga apapun yang menjadi hasil dari ijtihad mereka itu adalah hasil dari suatu proses usaha melalui analisa dan metodologi yang sistematis dan rasional serta diawali dengan tujuan yang baik yakni supaya  membawa kemudahan bagi kehidupan umat manusia. Itulah sebabnya dalam suatu hadist Rasulullah bersabda; “Perbedaan pendapat para ulama merupakan rahmat”.
b. Tanggapan penulis mengenai hukum Asuransi.
Sudah banyak “illat-illat” dan alasan-alasan yang logis sehingga para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum asuransi, namun penulis lebih memilih pada pendapat pertama dengan pertimbangan sebagai berikut;
1.      Penulis memilih pendapat yang haram dengan tujuan untuk menjauhi segala perbuatan yang masih menjadi perselisihan pendapat perihal halal-haramnya oleh para ulama yang dikenal dengan istilah ikhtath  (hati-hat) yang selalu dianjurkan oleh alquran dan hadist.
2.      Alasan dharurat untuk memilih pandapat halal bisa dikatakan sedikit tidak berlaku karena sudah banyak asuransi syariah yang dikelola sesuai dengan etika dan kaidah muamalah dalam ilmu fiqh.
Alasan yang kedua ini menurut hemat penulis membuat semakin yakin dengan pendapat ulama yang memutuskan haram. Hal ini bisa kita tinjau kembali terhadap hukum islam yang membolehkan sesuatu yang haram ataupun syubhat hanya dalam keadaan dharurat. Dengan banyak berdirinya bank-bank dan perusahaan asuransi syari’ah yang dikelola sesuai dengan etika, prinsip, dan tujuan dalam islam inilah, istilah dharurat ketika kita mengasuransikan diri kita menjadi tersisihkan. Disamping itu kita akan menjadi lebih bijak dalam memilih sIstem ekonomi yang kita anut sehingga sedikit banyak dapat menjauhkan kita dari larangan-larangan Allah. Amin.





.DAFTAR PUSTAKA


Syafii, Rachmat, 2006, FIQH MUAMALAH, Bandung; Pustaka Setia.

Alqardwi,Yusuf. 2001 . HALAL-HARAM.jakarta; Rabbani pers.

Hasan Mahdi, 2004. ASURANSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Jakarta: Prenada media

Zuhdi,Masfuk, 1997, MASAIL FIQHIYAH, Jakarta. PT Buku Gunung Agung



[1] Ulama-ulama ini membagi objek hukum fiqh menjadi empat yaitu Ubudiah, Muamalah, Munakahat, dan Uqubah (pidana islam). Lihat Syafii Rachmat,2006. FIQH MUAMALAH, Bandung, Pustaka setia, 19.
[2] Hasan mahdi, 2004. ASURANSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Jakarta. Prenada media.
 
[3] Ibid,.
[4]  Yusuf alqardwi,op,cit
[5]Alqardawi Yusuf, loc.cit hlm
[6] Hasan mahdi,loc,cit. 143
[7] Masfuk Zuhdi 1997, MASAIL FIQHIYAH, Jakarta. PT Buku Gunung Agung. 134
[8] Ibid,.
[9] Ibid,. hlm 135
[10] Pendapat ini adalh keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dalam Putusan Majlis Tarjih muhammaiyah, sumber jaya bandung,1971 hlm.309-312. (demikian tulis Mahdi Hasan,dalam fotnote. op.cit hlm136

1 komentar:

  1. Mather with the Gold. - Titanium Fitness
    The Mather offers blue titanium a perfect power supply titanium balance of quality and ecm titanium comfort. The Titanium Fitness' titanium exhaust tips range includes the best quality and comfort at our edc titanium

    BalasHapus